Jumat, 27 Maret 2015

aksara kuno sulawesi



Nama : Hikmah
Nim : F61113009
AKSARA-AKSARA DI SULAWESI SELATAN
Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan (needs) manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah TULISAN. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Dalam sejarah peradaban manusia, penggunaan sistem tulisan, yaitu aksara dianggap sebagai suatu ukuran untuk menilai tahap perkembangan sebuah peradaban bangsanya (Coulmas, 1990). Di Indonesia, sejak zaman dulu, masyarakat-masyarakat daerah tidak memiliki sistem tulisan tersendiri. Oleh karena itu, sangat diperlukan sistem tulisan untuk merekam dan mencatat tradisi bahasa lisan setempat. Akhirnya, tidak dapat dihindari peminjaman aksara dari peradaban asing yang telah berpengaruh, sehingga diadaptasi sesuai dengan sistem bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
menurut peradaban asing yang bersangkutan, yakni 1) aksara India, 2) skrip Arab dan 3) aksara Latin . Di antara ketiga jenis aksara tersebut, golongan 1) dan 2) telah direformasi sesuai dengan bahasa dan budaya setempat, sehingga muncul berbagai variasi bentuk tulisan yang berbeda satu dengan yang lain antara masyarakat-masyarakat  daerah. Tidak semua masyarakat bahasa  di Indonesia menerima ketiga jenis aksara ini. Ada yang menerima hanya satu jenis, ada yang juga menerima dua jenis atau ketiga-tiganya.
Masyarakat bahasa daerah yang ditemui di Sulawesi Selatan terdiri atas empat masyarakat bahasa yang terbesar, yaitu masyarakat penutur bahasa Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Keempat masyarakat bahasa daerah tersebut, masing-masing memiliki dan menyimpan baik warisan bahasa dan budayanya yang unik tersendiri, namun tidak semua masyarakat mempunyai sistem tulisannya. Di antara keempat masyarakat bahasa daerah, yang memiliki sistem tulisan adalah masyarakat Bugis dan Makassar. Terdapat juga naskah (namun sedikit) yang menuliskan bahasa Mandar dalam aksara Lontaraq, tetapi aksaranya bukan aksara Mandar tersendiri, melainkan diambil dari aksara Lontaraq pada masyarakat Bugis dan Makassar.
Masyarakat bahasa daerah di Sulawesi Selatan adalah salah satu masyarakat yang menerima ketiga jenis aksara di Indonesia. Aksara-aksara tersebut adalah aksara Jangang-Jangang, Lontaraq dan Sérang.
a.      Aksara lontara
Nama sebutan „Lontaraq‟ diambil dari nama sejenis pohon kelapa „Lontar‟. Ketika penggunaan kertas masih belum biasa di Sulawesi Selatan, daun lontar lazim digunakan sebagai kertas untuk ditulisi, karena daun lontar bersifat lebih keras dan lebih tahan lama daripada daun pohon yang lain. Akhirnya, lontar menjadi nama sebutan untuk segala jenis aksara tradisi di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, istilah „Lontaraq‟ menunjukkan „aksara‟.
Di Sulawesi Selatan, aksara Lontaraq diperkirakan berasal dari aksara India, namun masih belum ada yang membuktikan dengan jelas bahwa aksara tersebut berkaitan dengan aksara India. Meskipun begitu, sebagian besar pakar bersepakat bahwa aksara Lontaraq mungkin berasal dari aksara India, yaitu aksara Pallawa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Aksara Pallawa dari Dinasti Pallawa (northern Mysore) pada awal abad ke-4 sampai akhir ke-9 Masehi di India (Coulmas, 1990: 387), telah digunakan di kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-8 Masehi. Setelah itu, aksara Pallawa dijadikan landasan dalam pengembangan sistem aksara Kawi di Jawa pada tengah abad ke-8 Masehi. Selanjutnya, aksara Kawi memengaruhi lagi pembentukan aksara-aksara di Sumatra, yakni aksara Batak, aksara Kerinci, dan aksara Lampung. Aksara-aksara di Sumatra ini, kelak menjadi sebuah dorongan lahirnya aksara Lontaraq di Sulawesi Selatan. Bukti bahwa aksara-aksara tersebut berasal dari aksara Pallawa adalah semuanya berciri-ciri abugida dalam tipologi.            
Aksara Lontaraq lazim disebut sebagai aksara „Sulapak Eppa (segi empat)‟ dalam bahasa Bugis, karena bentuk tulisannya berdasarkan atas bentuk segi empat. Jumlah grafem adalah 23 abjad yang digunakan dalam bahasa Bugis, sedangkan dalam bahasa Makassar, hanya terdapat 19 grafem yang dipakai kecuali empat grafem no. 4 <ngka>, 8 <mpa>, 12 <nra>, dan 16 <nca> seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini. Untuk penanda vokal, digunakan diakritik (tanda vokal). Terdapat 5 vokal yang dilambangkan oleh aksara Lontaraq, yaitu /i/, /u/, /é/, /o/, dan /e/.
Penggunaan aksara Loantaraq dapat ditemui pula dalam masyarakat bahasa Ende di Flores Nusa Tenggara Timur (Banda, 2005: 2). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan sistem tulisan aksara Lontaraq bukan hanya terbatas dalam masyarakat bahasa dan budaya Bugis di Sulawesi Selatan, tetapi juga tersebar sampai suku bangsa yang lain di Indonesia. Akhir-akhir ini, di Sulawesi Selatan, di mana pun, dapat dilihat aksara Lontaraq pada papan nama jalan, namun tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 1) Aksara Lontaraq


b.     Jangang-jangang
Aksara Jangang-Jangang yang sebutannya berarti „burung‟ dalam Bahasa Makassar, digunakan dalam masyarakat bahasa Makassar, sedangkan aksara Lontaraq yang lazim disebut sebagai aksara „Sulapak Eppa (segi empat)‟ dalam bahasa Bugis, lebih memfokuskan peranannya
untuk menuliskan bahasa Bugis (Ann Kumar & John H. McGlynn, 1996: 214).
Dalam catatan sejarah kerajaan Gowa (Raja IX, Tumapa‟risi Kallonna 1512~1546) disebutkan mengenai penciptaan aksara Jangang-Jangang sebagai berikut.

...... syahbandar raja ini bernama I Daeng Pamattek, dia syahbandar, dan dia juga Tumailalang (Perdana Menteri), dan Daeng Pamattek ini jugalah yang membuat huruf Makassar (Ahmad Rahman, Muhammad Salim, 1996: 34).
Ketika syahbandar Daeng Pamattek diperintah oleh Raja Tumapa‟risi Kallonna, untuk menciptakan sistem aksara, beliau, dengan meniru bentuk seekor burung dari berbagai sisi, menciptakan aksara Jangang-Jangang. Oleh karena proses penciptaannya, nama aksara ini disebut „Jangang-Jangang‟ (Syarifuddin Daeng Kulle & Zainuddin Tika, 2003: 16).

Gambar 2) Aksara Jangang-Jangang
Penggunaan aksara Jangang-Jangang tidak dapat tersebar secara luas dalam masyarakat bahasa Makassar, karena cara penulisan abjadnya agak sulit daripada aksara Lontaraq. Setelah aksara Jangang-Jangang merosot penggunaannya, aksara Lontaraq mulai mendominasi penulisan bahasa Makassar. Dalam surat „Perjanjian Bongaya‟ yang ditandatangani antara kerajaan Gowa dan Belanda, pernah dituliskan aksara Jangang-Jangang dalam bahasa Makassar. Berdasarkan fakta ini, dapat diperkirakan bahwa aksara Jangang-Jangang lazim dipakai sebagai aksara resmi dalam kerajaan Gowa, sehingga tidak mudah tersebar dalam masyarakat sampai merosot penggunaannya.
c.      Aksara serang





Gambar3 aksara serang

Kemunculan aksara Sérang berkaitan dengan kedatangan orang Melayu di Sulawesi Selatan, yang telah pandai mereformasi skrip Arab, yaitu tulisan Jawi sesuai dengan sistem bunyi bahasa Melayu sejak abad ke-14. Bagi orang Melayu, tulisan Jawi lazim dianggap sebagai wahana untuk penyebaran peradaban Islam di Indonesia. Dengan demikian, di mana pun peradaban Islam masuk di Indonesia, tulisan Jawi disebarkan pula oleh orang Melayu untuk menyalin ajaran Islam ke bahasa setempat sebagai simbol Islam (Ahmad Rahman & Muhammad Salim, 1996: 33~34). Kemampuan orang Melayu terhadap penggunaan skrip Arab, mendorong mereka untuk memegang jabatan syahbandar dan juru tulis istana dalam kerajaan Gowa (sejak Raja X, Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulawesng 1546-1565). Sejak itu, secara turun-temurun jabatan tersebut dipegang oleh orang Melayu. Fakta sejarah ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan skrip Arab, yaitu aksara Sérang di Sulawesi Selatan dimotivasi oleh orang Melayu yang menjabat syahbandar dan juru tulis istana dalam kerajaan Gowa.
Bentuk variasi grafem dalam aksara Sérang berbeda dengan tulisan Jawi, namun abjad Latin yang dilambangkan oleh kedua aksara tersebut sama, kecuali grafem <v> dalam tulisan Jawi. Tiga titik yang terdapat dalam variasi gerafem tulisan Jawi digantikan dengan grafem <> dalam aksara Sérang. Kemunculan penggunaan grafem <> mungkin dikarenakan bahwa dua titik bawah antara tiga titik lazim dituliskan secara kursif, sehingga kelihatannya satu garis lenkung (Cho Tae Young, 2009: 125). Perbedaan yang lain antara tulisan Jawi dengan aksara Sérang adalah penggunaan i‟rab, yaitu tanda vokal. Berbeda dengan tulisan Jawi, aksara Sérang masih memakai tanda vokal untuk melambangkan bunyi vokal bahasa Bugis dan Makassar.
Nama sebutan „Sérang‟ masih belum jelas asal-usulnya, namun ada beberapa hipotesisnya. Menurut Mattulada, istilah „Sérang‟ berasal dari kata „Seram‟ yang menunjukkan suku Seram, karena agama Islam dan skrip Arab dibawa oleh suku Seram ke Sulawesi Selatan (Koentjaraningrat, 1999: 269). Akan tetapi, tidak terdapat bukti sejarah apa pun bahwa orang Seram membawa Islam ke Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam kamus bahasa Bugis dan Makassar, kata „Sérang‟ berarti miring dan tidak lurus. Rakyat yang masih belum lupa menulis aksara Sérang, mengatakan bahwa aksara Sérang lazim dituliskan dengan miring. Akan tetapi, dalam sebagian besar naskah aksara Sérang, bentuk tulisannya tidak miring. Dengan demikian, asal-usul nama sebutan „Sérang‟ masih belum jelas, sangat diperlukan penelitian lanjutan untuk keterangan yang tepat terhadap nama „Sérang‟.
Penggunaan aksara Sérang sangat terbatas, namun sikap penerimaan peradaban Islam di Sulawesi Selatan agak positif dan aktif. Saat aksara Sérang dikenal di Sulawesi Selatan, kedudukannya tidak kuat, karena aksara Lontaraq telah lama digunakan. Aksara Latin juga salah satu alasan yang membatasi penggunaan aksara Sérang di Sulawesi Selatan. Ketika peradaban Barat masuk di Sulawesi Selatan melalui Belanda, bahasa-bahasa setempat sudah mulai dicatat dalam aksara Latin. Akhirnya, aksara Sérang tidak dapat menguasai penggunaan sistem tulisan dari aksara Latin yang lebih hemat dan mudah dalam penulisan, sehingga penggunaannya pun terbatas hanya dalam lingkungan Islam. Dengan kata lain, aksara Sérang merosot penggunaannya disebabkan oleh aksara Lontaraq yang telah lama menahan tradisinya dan aksara Latin yang penulisannya hemat dan mudah (Cho Tae Young, 2010: 109).
Sumber:
( Tradisi Bahasa Tulisan di Sulawesi Selatan)
https://www.google.com/search?q=jenis+aksara+yang+ada+di+sulawesi+selatan&client=firefox-a&hs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar