Nama : Hikmah
Nim : F61113009
AKSARA-AKSARA DI SULAWESI SELATAN
Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan (needs) manusia untuk
mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu
proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud
kebudayaan manusia adalah TULISAN. Seperti halnya dengan wujud-wujud
kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan
manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Dalam
sejarah peradaban manusia, penggunaan sistem tulisan, yaitu aksara dianggap
sebagai suatu ukuran untuk menilai tahap perkembangan sebuah peradaban
bangsanya (Coulmas, 1990). Di Indonesia, sejak zaman dulu,
masyarakat-masyarakat daerah tidak memiliki sistem tulisan tersendiri. Oleh
karena itu, sangat diperlukan sistem tulisan untuk merekam dan mencatat tradisi
bahasa lisan setempat. Akhirnya, tidak dapat dihindari peminjaman aksara dari
peradaban asing yang telah berpengaruh, sehingga diadaptasi sesuai dengan
sistem bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
menurut
peradaban asing yang bersangkutan, yakni 1) aksara India, 2) skrip Arab dan 3) aksara
Latin . Di antara ketiga jenis aksara tersebut, golongan 1) dan 2) telah
direformasi sesuai dengan bahasa dan budaya setempat, sehingga muncul berbagai
variasi bentuk tulisan yang berbeda satu dengan yang lain antara
masyarakat-masyarakat daerah. Tidak
semua masyarakat bahasa di Indonesia
menerima ketiga jenis aksara ini. Ada yang menerima hanya satu jenis, ada yang
juga menerima dua jenis atau ketiga-tiganya.
Masyarakat
bahasa daerah yang ditemui di Sulawesi Selatan terdiri atas empat masyarakat
bahasa yang terbesar, yaitu masyarakat penutur bahasa Bugis, Makassar, Mandar
dan Toraja. Keempat masyarakat bahasa daerah tersebut, masing-masing memiliki
dan menyimpan baik warisan bahasa dan budayanya yang unik tersendiri, namun
tidak semua masyarakat mempunyai sistem tulisannya. Di antara keempat
masyarakat bahasa daerah, yang memiliki sistem tulisan adalah masyarakat Bugis
dan Makassar. Terdapat juga naskah (namun sedikit) yang menuliskan bahasa
Mandar dalam aksara Lontaraq, tetapi aksaranya bukan aksara Mandar tersendiri,
melainkan diambil dari aksara Lontaraq pada masyarakat Bugis dan Makassar.
Masyarakat
bahasa daerah di Sulawesi Selatan adalah salah satu masyarakat yang menerima
ketiga jenis aksara di Indonesia. Aksara-aksara tersebut adalah aksara
Jangang-Jangang, Lontaraq dan Sérang.
a.
Aksara lontara
Nama
sebutan „Lontaraq‟ diambil dari nama sejenis pohon kelapa „Lontar‟. Ketika penggunaan
kertas masih belum biasa di Sulawesi Selatan, daun lontar lazim digunakan
sebagai kertas untuk ditulisi, karena daun lontar bersifat lebih keras dan
lebih tahan lama daripada daun pohon yang lain. Akhirnya, lontar menjadi nama
sebutan untuk segala jenis aksara tradisi di Sulawesi Selatan. Dengan demikian,
istilah „Lontaraq‟ menunjukkan „aksara‟.
Di
Sulawesi Selatan, aksara Lontaraq diperkirakan berasal dari aksara India, namun
masih belum ada yang membuktikan dengan jelas bahwa aksara tersebut berkaitan
dengan aksara India. Meskipun begitu, sebagian besar pakar bersepakat bahwa
aksara Lontaraq mungkin berasal dari aksara India, yaitu aksara Pallawa baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Aksara
Pallawa dari Dinasti Pallawa (northern Mysore) pada awal abad ke-4
sampai akhir ke-9 Masehi di India (Coulmas, 1990: 387), telah digunakan
di kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad ke-8 Masehi. Setelah itu, aksara
Pallawa dijadikan landasan dalam pengembangan sistem aksara Kawi di Jawa pada
tengah abad ke-8 Masehi. Selanjutnya, aksara Kawi memengaruhi lagi pembentukan
aksara-aksara di Sumatra, yakni aksara Batak, aksara Kerinci, dan aksara
Lampung. Aksara-aksara di Sumatra ini, kelak menjadi sebuah dorongan lahirnya
aksara Lontaraq di Sulawesi Selatan. Bukti bahwa aksara-aksara tersebut berasal
dari aksara Pallawa adalah semuanya berciri-ciri abugida dalam tipologi.
Aksara
Lontaraq lazim disebut sebagai aksara „Sulapak Eppa (segi empat)‟ dalam bahasa
Bugis, karena bentuk tulisannya berdasarkan atas bentuk segi empat. Jumlah
grafem adalah 23 abjad yang digunakan dalam bahasa Bugis, sedangkan dalam
bahasa Makassar, hanya terdapat 19 grafem yang dipakai kecuali empat grafem no.
4 <ngka>, 8 <mpa>, 12 <nra>, dan 16 <nca> seperti yang
terlihat dalam gambar di bawah ini. Untuk penanda vokal, digunakan diakritik
(tanda vokal). Terdapat 5 vokal yang dilambangkan oleh aksara Lontaraq, yaitu
/i/, /u/, /é/, /o/, dan /e/.
Penggunaan
aksara Loantaraq dapat ditemui pula dalam masyarakat bahasa Ende di Flores Nusa
Tenggara Timur (Banda, 2005: 2). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan
sistem tulisan aksara Lontaraq bukan hanya terbatas dalam masyarakat bahasa dan
budaya Bugis di Sulawesi Selatan, tetapi juga tersebar sampai suku bangsa yang
lain di Indonesia. Akhir-akhir ini, di Sulawesi Selatan, di mana pun, dapat
dilihat aksara Lontaraq pada papan nama jalan, namun tidak digunakan lagi dalam
kehidupan sehari-hari.
Gambar
1) Aksara Lontaraq
b.
Jangang-jangang
Aksara
Jangang-Jangang yang sebutannya berarti „burung‟ dalam Bahasa Makassar,
digunakan dalam masyarakat bahasa Makassar, sedangkan aksara Lontaraq yang
lazim disebut sebagai aksara „Sulapak Eppa (segi empat)‟ dalam bahasa Bugis,
lebih memfokuskan peranannya
untuk
menuliskan bahasa Bugis (Ann Kumar & John H. McGlynn, 1996: 214).
Dalam
catatan sejarah kerajaan Gowa (Raja IX, Tumapa‟risi Kallonna 1512~1546)
disebutkan mengenai penciptaan aksara Jangang-Jangang sebagai berikut.
......
syahbandar raja ini bernama I Daeng Pamattek, dia syahbandar, dan dia juga
Tumailalang (Perdana Menteri), dan Daeng Pamattek ini jugalah yang membuat
huruf Makassar (Ahmad Rahman, Muhammad Salim, 1996: 34).
Ketika
syahbandar Daeng Pamattek diperintah oleh Raja Tumapa‟risi Kallonna, untuk
menciptakan sistem aksara, beliau, dengan meniru bentuk seekor burung dari
berbagai sisi, menciptakan aksara Jangang-Jangang. Oleh karena proses
penciptaannya, nama aksara ini disebut „Jangang-Jangang‟ (Syarifuddin Daeng
Kulle & Zainuddin Tika, 2003: 16).
Gambar
2) Aksara Jangang-Jangang
Penggunaan
aksara Jangang-Jangang tidak dapat tersebar secara luas dalam masyarakat bahasa
Makassar, karena cara penulisan abjadnya agak sulit daripada aksara Lontaraq.
Setelah aksara Jangang-Jangang merosot penggunaannya, aksara Lontaraq mulai
mendominasi penulisan bahasa Makassar. Dalam surat „Perjanjian Bongaya‟ yang
ditandatangani antara kerajaan Gowa dan Belanda, pernah dituliskan aksara
Jangang-Jangang dalam bahasa Makassar. Berdasarkan fakta ini, dapat
diperkirakan bahwa aksara Jangang-Jangang lazim dipakai sebagai aksara resmi
dalam kerajaan Gowa, sehingga tidak mudah tersebar dalam masyarakat sampai
merosot penggunaannya.
c.
Aksara serang
Gambar3 aksara serang
Kemunculan
aksara Sérang berkaitan dengan kedatangan orang Melayu di Sulawesi Selatan,
yang telah pandai mereformasi skrip Arab, yaitu tulisan Jawi sesuai dengan
sistem bunyi bahasa Melayu sejak abad ke-14. Bagi orang Melayu, tulisan Jawi
lazim dianggap sebagai wahana untuk penyebaran peradaban Islam di Indonesia.
Dengan demikian, di mana pun peradaban Islam masuk di Indonesia, tulisan Jawi
disebarkan pula oleh orang Melayu untuk menyalin ajaran Islam ke bahasa
setempat sebagai simbol Islam (Ahmad Rahman & Muhammad Salim, 1996: 33~34).
Kemampuan orang Melayu terhadap penggunaan skrip Arab, mendorong mereka untuk
memegang jabatan syahbandar dan juru tulis istana dalam kerajaan Gowa (sejak
Raja X, Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulawesng 1546-1565). Sejak itu, secara
turun-temurun jabatan tersebut dipegang oleh orang Melayu. Fakta sejarah ini
dapat menunjukkan bahwa penggunaan skrip Arab, yaitu aksara Sérang di Sulawesi
Selatan dimotivasi oleh orang Melayu yang menjabat syahbandar dan juru tulis
istana dalam kerajaan Gowa.
Bentuk
variasi grafem dalam aksara Sérang berbeda dengan tulisan Jawi, namun abjad
Latin yang dilambangkan oleh kedua aksara tersebut sama, kecuali grafem
<v> dalam tulisan Jawi. Tiga titik yang terdapat dalam variasi gerafem
tulisan Jawi digantikan dengan grafem <> dalam aksara Sérang. Kemunculan
penggunaan grafem <> mungkin dikarenakan bahwa dua titik bawah antara
tiga titik lazim dituliskan secara kursif, sehingga kelihatannya satu garis
lenkung (Cho Tae Young, 2009: 125). Perbedaan yang lain antara tulisan
Jawi dengan aksara Sérang adalah penggunaan i‟rab, yaitu tanda vokal. Berbeda
dengan tulisan Jawi, aksara Sérang masih memakai tanda vokal untuk melambangkan
bunyi vokal bahasa Bugis dan Makassar.
Nama
sebutan „Sérang‟ masih belum jelas asal-usulnya, namun ada beberapa
hipotesisnya. Menurut Mattulada, istilah „Sérang‟ berasal dari kata „Seram‟
yang menunjukkan suku Seram, karena agama Islam dan skrip Arab dibawa oleh suku
Seram ke Sulawesi Selatan (Koentjaraningrat, 1999: 269). Akan tetapi, tidak
terdapat bukti sejarah apa pun bahwa orang Seram membawa Islam ke Sulawesi
Selatan. Selain itu, dalam kamus bahasa Bugis dan Makassar, kata „Sérang‟
berarti miring dan tidak lurus. Rakyat yang masih belum lupa
menulis aksara Sérang, mengatakan bahwa aksara Sérang lazim dituliskan dengan
miring. Akan tetapi, dalam sebagian besar naskah aksara Sérang, bentuk
tulisannya tidak miring. Dengan demikian, asal-usul nama sebutan „Sérang‟ masih
belum jelas, sangat diperlukan penelitian lanjutan untuk keterangan yang tepat
terhadap nama „Sérang‟.
Penggunaan
aksara Sérang sangat terbatas, namun sikap penerimaan peradaban Islam di
Sulawesi Selatan agak positif dan aktif. Saat aksara Sérang dikenal di Sulawesi
Selatan, kedudukannya tidak kuat, karena aksara Lontaraq telah lama digunakan.
Aksara Latin juga salah satu alasan yang membatasi penggunaan aksara Sérang di
Sulawesi Selatan. Ketika peradaban Barat masuk di Sulawesi Selatan melalui
Belanda, bahasa-bahasa setempat sudah mulai dicatat dalam aksara Latin.
Akhirnya, aksara Sérang tidak dapat menguasai penggunaan sistem tulisan dari
aksara Latin yang lebih hemat dan mudah dalam penulisan, sehingga penggunaannya
pun terbatas hanya dalam lingkungan Islam. Dengan kata lain, aksara Sérang
merosot penggunaannya disebabkan oleh aksara Lontaraq yang telah lama menahan
tradisinya dan aksara Latin yang penulisannya hemat dan mudah (Cho Tae
Young, 2010: 109).
Sumber:
(
Tradisi Bahasa Tulisan di Sulawesi
Selatan)
https://www.google.com/search?q=jenis+aksara+yang+ada+di+sulawesi+selatan&client=firefox-a&hs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar