Jumat, 27 Maret 2015

SEPUTAR ARKEOLOGI



NAMA: HIKMAH
ARKEOLOGI UNIVERSITAS HASANUDDIN
JUMAT 27 MARET 2015
SISTEM DALAM ARKEOLOGI
Di dalam cakupan kajian (lapangan studi) arkeologi, dikenal beberapa tingkatan sistem
yang satu sama lain saling terkait, sebagaimana tergambar pada bagan alir di bawah ini:
Keterangan:
• Living system, merupakan sistem di mana objek-objek material (artefak) masih
berada di dalam sistem budaya masyarakat pendukungnya. Objek tersebut dibuat dan
difungsikan sesuai dengan konsep yang mereka miliki, sampai akhirnya tidak
digunakan lagi atau hilang dan terdeposisi di suatu tempat. Penggambaran living
system masa lampau melalui sisa-sisa budaya materi yang ditinggalkan pendukungnya
merupakan tujuan umum Arkeologi Historiografi.
• Taphonomic system, merupakan sistem yang berlangsung sejak suatu objek
terdeposisi hingga ditemukan kembali oleh arkeolog. Berbagai proses yang berlangsung
dalam sistem ini, baik proses budaya maupun alam, akan menghasilkan perubahan
kondisi yang sangat mencolok. Dengan demikian, sistem tafonomi merupakan lapangan
studi yang sangat penting karena dapat menentukan besar-kecilnya bias yang muncul
dari kesimpulan para arkeolog atas objek yang ditemukan dan dikajinya.
• Retrieval system, merupakan upaya menemukan kembali objek-objek arkeologis
sebagai data/pijakan untuk menggambarkan kembali kehidupan manusia yang
melatarbelakangi keberadaannya (living system), serta berbagai proses yang
berlangsung setelah benda tersebut terdeposisi (taphonomic system). Dengan kata
lain, retrieval system merupakan tahapan awal bagi pencapaian tujuan Arkeologi
Historiografi. Di lain pihak, hasil suatu retrieval system juga perlu dikonservasi untuk
kemudian dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kehidupan sekarang melalui
pengelolaan yang benar. Dengan demikian, kegiatan penemuan kembali benda-benda
arkeologis merupakan penghubung antara kehidupan yang pernah berlangsung pada
masa lalu dengan kepentingan kita di masa sekarang dan mendatang. Sistem ini
berlangsung melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu Observasi, Deskripsi, dan Interpretasi
Eksplanasi.
• Conservation System dan CRM system, merupakan bagian dari Arkeologi
Konservasi yang dapat diartikan sebagai cabang arkeologi yang mencoba untuk
mempreservasi dan mengelola objek arkeologis untuk berbagai kepentingan
akademis-praktis di masa sekarang dan mendatang.
        Sebagai bagian dari tahap observasi, ekskavasi merupakan kegiatan yang sangat khas
bagi arkeologi. Begitu eratnya kaitan antara “arkeologi” dengan “ekskavasi” pada
kenyataannya mampu menghadirkan image bahwa ekskavasi merupakan salah satu
“identitas” arkeologi. “Arkeolog” dengan sendirinya identik dengan “ekskavator”.
     Hal ini diperkuat melalui pernyataan Grahame Clark, bahwa: "the archaeologist with little or no experience of excavation is ill qualified to interpret the result of other people's digging".
Pendapat di atas sangatlah tepat karena arkeologi jelas berurusan dengan berbagai
bentuk tinggalan manusia masa lalu yang karena berbagai proses alam maupun
budaya, selama kurun waktu yang sangat panjang akhirnya terpendam di dalam tanah
dan sebagian tersebar di permukaan tanah. Objek arkeologis yang diperoleh melalui
ekskavasi sangat penting karena pada umumnya lebih terpreservasi dan tidak terlalu
teraduk jika dibandingkan dengan objek-objek arkeologis di permukaan. Melalui ekskavasi
inilah para arkeolog berusaha membuka kembali “rekaman” kehidupan manusia masa lalu
melalui sisa-sisa aktivitasnya yang masih terawetkan sampai sekarang, dengan
memperhatikan proses transformasi sejak materi tersebut terdeposisi hingga ditemukan
kembali.
          Untuk memahami seberapa besar peran ekskavasi di dalam proses kerja arkeologi,
pandangan kaum Behavioralist mengenai tiga ranah penelitian arkeologi (three research
domains) pantas untuk disimak. Ketiga ranah yang dimaksud adalah: Pertama,
menjawab pertanyaan how, yaitu "How did a particular configuration of objects come to
be where they are presently observed ?". Pertanyaan ini berhubungan dengan proses
pembentukan data arkeologi; Kedua, menjawab pertanyaan where, what, dan when,
yang berhubungan dengan upaya untuk merekonstruksi, mengidentifikasi, dan
menggambarkan tingkah laku manusia pada masa lalu; Ketiga, menjawab pertanyaan
why, yang berhubungan dengan penjelasan tentang tingkah laku manusia masa lalu.
Ranah pertama tidak pernah disebut secara eksplisit dalam paradigma arkeologi.
               Bahkan dalam rumusan definisi arkeologi pun hanya disebut mengenai description and explanation of human behavior. Padahal jawaban atas pertanyaan tersebut sangat tergantung atas
bagaimana peneliti mengetahui proses pembentukan data yang dipakai sebagai titik tolak
kajiannya. Proses-proses yang mempengaruhi pembentukan data arkeologi beserta akibatakibat
yang ditimbulkannya perlu diidentifikasi dan dikenali sebelum kesimpulan tentang
tingkah laku manusia dan budaya masa lalu dihasilkan. Tanpa memperhatikan hal-hal
tersebut, kesimpulan yang dihasilkan oleh para arkeolog akan banyak diwarnai bias. Data
arkeologi itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil akumulasi sejumlah besar bias. Ketika
ditemukan pada saat sekarang,
         objek-objek arkeologis tidak dapat langsung menginformasikan kepada kita tentang kondisi masa lalu secara menyeluruh. Cara untuk memahaminya adalah dengan mengetahui bagaimana kondisi objek tersebut terbentuk, mengalami perubahan, sehingga menampakkan ciri-ciri seperti yang kita lihat sekarang. Terjadinya bias pada objek arkeologis tidak dapat dihindari, karena kenampakan objek yang tertangkap mata arkeolog merupakan hasil proses tingkah laku manusia (baik disengaja maupun tidak disengaja) dan proses alam yang masing-masing menghasilkan
bentuk-bentuk transformasi data. Oleh karenanya, kesadaran akan adanya bias dan
bentuk-bentuk proses transformasi yang menghasilkannya sangat diperlukan sebelum
inferensi dilakukan. Daniels (1972), mengelompokkan faktor-faktor penyebab bias menjadi tiga, yaitu historical factors, post-depositional factors, dan research factors. Historical factors meliputi semua faktor penyebab yang berasal dari cara hidup pembuat dan pemakai artefak, lingkungan
sekitar, serta reaksi mereka terhadapnya. Post-depositional factors mencakup semua
sebab yang merubah kedudukan atau posisi objek setelah ditinggalkan oleh pemakainya
sampai ditemukan kembali oleh arkeolog.
                Adapun research factors adalah faktor-faktor yang berasal dari peneliti sendiri, mulai tahap retrieval hingga publikasi. Sejalan dengan pengelompokan di atas, selama ini juga dikenal adanya dua kategori konteks dalam pandangan transformasi, yaitu Konteks Sistem dan Konteks Arkeologi. Menurut Reid (1995), Konteks Sistem merupakan sistem tingkah laku di mana objek –objek material menjadi salah satu bagiannya. Konteks ini merupakan sistem sosio-kultural
yang masih hidup, yang meninggalkan rekaman dalam bentuk objek-objek material
beserta asosiasinya yang diperoleh pada masa sekarang. Konteks Sistem ini mencakup
fenomena masa lalu yang berusaha direkonstruksi dan dijelaskan oleh arkeolog.
Sedangkan Konteks Arkeologi merupakan rekaman arkeologis dari masa sekarang, yang
mengandung sifat-sifat formal, spasial, kuantitatif, dan relasional dari objek-objek kultural
dan non-kultural.
       Objek-objek yang berada dalam Konteks Arkeologi merupakan hasil
hubungan timbal balik antara tingkah laku manusia dan materi (behavioral correlate)
dengan tingkah laku budaya dan non budaya (C-Transforms dan N-Transforms) yang
membentuk data arkeologi. Hubungan antara ketiga sumber bias yang sudah dipaparkan
di atas dengan kedua jenis konteks ini dapat dipakai untuk merekonstruksi tingkat bias
pada data arkeologi .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar